PEJUANG SUBUH
Waktu subuh adalah waktu manusia terlelap. Melepas
lelah. Melupakan kewajiban bertemu Tuhan dalam salat subuh berjamaah. Waktu
Subuh adalah pembeda antara orang munafik dan beriman. Malaikat pun menjadi
saksi saat subuh datang. Saksi bagi manusia-manusia yang mengingat Tuhannya.
***
Perkenalkan, aku Fahrul. Cerita ini
merupakan pengalaman nyata di tahun 2015 ini. Pengalaman yang selalu menyimpan
kenangan bagiku. Ya. Kenangan yang
membuat aku bersyukur. Bersyukur atas semua pengalaman berharga selama
merantau di Jakarta.
Ping.
Bunyi penanda pesan masuk di sosial mediaku Whatsapp.
Aku melihat handphone-ku. Pesan
tersebut berisi kegiatan kajian pejuang subuh yang dilaksanakan di Masjid Sunda
Kelapa Menteng. Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Bulan Suci
Ramadan. Di acara tersebut, ada kegiatan pemutaran film cintasubuh dan kegiatan bakti sosial untuk korban pelanggaran HAM
di Myanmar, etnis muslim Rohingya. “Acara
ini keren juga. Sepertinya, aku harus ikut,” pikirku. Tapi, ada satu
kejanggalan yang aku tidak mengerti, Kejanggalan itu adalah penggunaan istilah
“pejuang subuh” di komunitas ini. Mengapa harus ada pejuang subuh, berlebihan
saja. Aku menutup pesan tersebut. Aku mengambil spidol dan memberikan tanda X
di kalender yang tertempel di dinding kosku.
***
Satu minggu lagi, bulan puasa tiba.
Aku masih belum menyelesaikan penelitianku. “Sepertinya, aku tidak pulang dulu
ke Samarinda”, pikirku. Aku menaiki bus TransJakarta
untuk ke lokasi penelitianku di Tanjung Priok. Penuh sesak keadaan di
dalamnya. Aku berdesak-desakan dengan penumpang lainnya ketika melangkahkan
kaki ke dalam bus. Untungnya, aku mendapatkan tempat duduk di bangku belakang.
Bus TransJakarta tetap melaju lancar
di jalur bebas hambatan. Kulemparkan pandanganku keluar jendela bus TransJakarta. Pemandangan gedung-gedung
yang menjulang langit silih berganti menghiasi pemandangan di luar bus.
Samar-samar, pemandangan itu hilang, berganti dengan wajah-wajah orang yang
kurindukan, ibu, adik-adikku, dan ayah.
Pikiranku masih melayang jauh, meninggalkan bus yang
menyesakkan ini. Meninggalkan sesaat dunia di sekitarku. Pikiran akan keinginan
untuk pulang ke Samarinda memenuhi isi kepalaku, tapi langsung berganti dengan
bayangan laporan penelitian akhir yang harus kuselesaikan.
Jika aku pulang, aku tidak ada waktu untuk
menyelesaikan penelitianku. Aku pasti disibukkan dengan acara ngabuburit bersama teman-temanku. Jika
aku tidak pulang, aku pasti merasa sedih karena lebaran tidak di kampung
halaman. Pikiranku menjadi liar. Keinginan untuk pulang ke Samarinda atau tetap
di Jakarta menyelesaikan tugas akhirku berputar-putar silih berganti memenuhi
pikiranku. Aku pejamkan mata sejenak dan menarik nafas dalam-dalam untuk
menenangkan pikiranku.
“Pemberhentian berikutnya halte
Plumpang Pertamina. Mohon periksa kembali barang dan bawaan Anda. Plumpang
Pertamina,” suara petugas bus TransJakarta
membuyarkan lamunanku. Aku menuju ke arah pintu keluar, mengantre bersama
penumpang yang hendak turun. Aku melanjutkan perjalanan ke tempat penelitian
dengan ojek.
“Bang,
antarkan saya ke jalan Alur Laut,”ucapku.
Seperti biasa, jawaban orang-orang Jakarta yang
sering aku dengar. “Siap Bang,” jawab si Tukang Ojek. Aku dibonceng oleh tukang
ojek. Tiada dialog selama perjalanan. Hiruk pikuk kemacetan membuat aku tidak betah
di Jakarta. Ah, sumpek dengan kepadatan
kendaraan yang kadang membuatku pusing.
“Bang, ini sudah sampai,” ucap tukang ojek. Aku pun
turun. “Makasih, Bang,” balasku.
Sampai juga akhirnya di tempat
penelitianku yang berlokasi di perumahan.Taman Bermain Intan, tempat yang
mengijinkan aku melakukan penelitian.
Assalamualaikum,
Bu May, ucapku dengan tersenyum.
Wa’alaikumsalam,
ayo masuk Kak Fahrul. Ini anak-anak sudah siap. Bahan-bahannya sudah siapkah?
tanya bu May.
“Siap, Bu.” Aku mengeluarkan
beberapa alat percobaan permainan untuk anak-anak ini. Kegiatan ini aku namakan
“Penjelajahan Planet Bumi”. Anak-anak tampak gembira menyambut kedatanganku.
“Om Fahrul,” ucap Rasya .
“Hai Rasya,” balasku dengan
melemparkan senyumanku. Tangan Rasya memegang jemariku. Dia genggam erat.
Tanganku membalas dengan usapan lembut
di kepalanya. Bercengkrama dengan anak-anak PAUD ini membuatku rindu
rumah. Iya benar. Aku rindu bermain dengan anak-anak di sekolahku. Aku merasa
menjadi anak-anak lagi ketika bercengkrama dengan mereka.
Ibu May membantu kegiatan
penelitianku. Kami menyiapkan kelas menjadi miniatur penampakan bumi. Hiasan
gunung, laut, perkotaan, dan pedesaan yang dirancang sebelumnya telah siap.
Kegiatan penelitian dimulai. Wajah anak-anak sangat ekspresif. Tidak ada
kesedihan. Tawa keras menggelegar seisi kelas. Aku menyembunyikan rasa rindu kampung
halamanku dengan ikut memasuki dunia mereka. Ibu May memimpin permainan. Kamera
digital berwarna merah andalanku siap merekam tingkah laku anak-anak.
“Ayo, kita jelajahi bumi sekarang!”
ucap Bu May penuh semangat. “Yeeee. Asik, jalan-jalan,” teriak Kinan. Tidak
kalah semangat, Rasya bernyanyi lagu naik-naik ke puncak gunung.
“Naik-naik ke puncak gunung. Tinggi.
Tinggi sekali,” suara merdu Rasya mulai bernyanyi. Tiba-tiba, terdengar suara
tangis Renti. “Huuaaaa. Ibuuuuuu!” teriak Renti. Ibu May berhenti. Dengan
naluri keibuannya, Ibu May mejajarkan wajahnya dengan Renti.
“Renti, kenapa menangis?” selidik
Ibu May.
“Rasya pukul aku, Bu. Kaki aku jadi
akit,” jelas Renti yang cadel.
Ibu May memanggil Rasya. “Rasya,
apakah benar kamu memukul Renti?” tanya Ibu May dengan lembut.
“Habis, dia jalannya lambat, Bu.
Rasya mau cepat,” jawab Rasya dengan kepolosannya. Ibu May menghela nafas.
Beberapa kata dibisikkan kepada Renti. Ibu May juga membisikan beberapa kata
kepada Rasya. Ibu May meminta Renti mengucapkan kata tersebut.
Renti berkata dengan lantang, “Rasya, aku gak suka. Sakit aku dipukul”. Ibu May
juga meminta Rasya untuk mengucapkan kata yang dibisikkan ke telinganya. “Iya,
aku tidak sengaja. Maafkan aku,” balas Rasya. Rasya pun memberikan tangan
kanannya kepada Renti. Tanda meminta maaf secara langsung kepada Renti. Renti
menyambut dengan hangat. Ibu May tersipu-sipu melihat dua anak kesayangannya. Aku terkesima dengan cara Ibu May menangani
kedua anak ini. Tanpa ikut campur melerai mereka. Ibu May tidak menyalahkan
Rasya, juga tidak membela Renti. Ibu May memang guru yang luar biasa.
Penelitian pun selesai. Aku bergegas pulang.
“Ibu May, terima kasih untuk bantuannya selama ini.
Karena minggu depan sudah puasa dan penelitiannya sudah selesai, saya tidak ke sini
lagi, ucapku.
Ibu May mengangguk. Kedua bola mataku menatap lama
suasana kelas ini. Setiap sudut. Setiap
jengkal. Aku merasakan kehilangan tempat nostalgia kampung halamanku. Di tempat
penelitian ini, aku merasa berada di rumah. anak-anak PAUD yang menemaniku.
Orang tua mereka yang ramah dan bersahabat, guru-guru yang mau membantu selama
penelitian, bahkan Pengelola Sekolah yang menganggap aku seperti anaknya
sendiri. Beruntung sekali aku melakukan penelitian di tempat ini yang diberikan
kemudahan. Aku pun terbawa lamunan.
Tiba-tiba Rasya menubrukku dari depan. “Oom,,,aku
mau pangku”, ucap Rasya. Ibu May tidak menegur Rasya. Dia mengabaikan tingkah
Rasya. Aku hanya membelai rambut Rasya sambil merekam suasana kelas yang mau
bubar.
***
Aku melanjutkan perjalanan ke kosan.
Seperti biasa, aku mengantre bus TransJakarta.
Aku melihat tanggal di handphone-ku.
Pikiranku mulai berkeliaran ke dimensi lain. Keputusan untuk pulang atau tidak
ke Samarinda belum aku tetapkan. Di dalam bus TransJakarta, aku bermain handphone.
Bukannya memutuskan untuk pulang atau tidak ke Samarinda, aku malah berpikir
tentang broadcast info pejuang subuh.
Kenapa juga ada komunitas seperti itu? Apakah mereka tidak ria? Membanggakan
ibadah mereka. Aaahh! Sudahlah!.
Akhirnya, aku sampai juga di kos
tercinta. Rumah kedua bagiku. Aku segera menutup kamar. Mengunci rapat-rapat.
Laptop kembali aku nyalakan. Sedikit demi sedikit aku melaporkan hasil
penelitian. Tidak terasa malam hampir tiba. Aku lupa shalat Zuhur dan Ashar. Azan
magrib pun tidak terdengar di telingaku karena hasrat ingin menyelesaikan
laporan penelitianku. Aku berkutat di depan laptop hingga pukul 22:00. Hatiku
merasa janggal. Biasanya, di Samarinda, aku diingatkan oleh Ibu dan Ayah untuk
salat. Di Jakarta ini, aku bebas. Tidak ada siapapun yang melarangku. Aku bebas
melakukan apa saja yang aku mau. Untuk bercakap-cakap dengan anak-anak kosanku
saja, hanya sesekali aku lakukan. Tidak penting bagiku. Karena saat ini, aku
sedang berjuang lulus kuliah tahun ini. Tapi, hatiku tetap merasa tidak nyaman.
Aku merasa ada yang kurang.
Kedua mataku melihat jadwal yang aku
beri tanda X. Tanggal 13-14 Juni 2015 ke Masjid Sunda Kelapa. Hari ini. Rasa
penasaran masih menggelayutiku. Naluri keingintahuanku menuntun aku untuk
memutuskan pergi ke acara pejuang subuh itu. Akhirnya malam ini, aku memutuskan
untuk pergi ke acara tersebut. Iya. Malam pencarian informasi tentang komunitas
pejuang subuh.
***
Tiba saatnya, aku mengikuti kegiatan
pejuang subuh. Rasa penasaranku akan terpecahkan. Aku duduk di atas kursi bus TransJakarta, menggerakan jemariku di
atas layar handphone untuk mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang penjuang subuh. Tapi nihil. Tak banyak
informasi yang aku dapat dari penyelusuran di internet. Hanya seputar iklan
kegiatan kajian pejuang subuh yang dilaksanakan di Masjid Sunda Kelapa Menteng.
Jadi, aku mau tidak mau harus mengikuti kegiatan ini sampai besok. Pilihan
bermalam pun aku lakukan. Peralatan mandi saja yang aku bawa. Teman-teman kos
tidak ada yang mau diajak. Aku malah ditertawakan. Mereka menertawakan istilah
pejuang subuh itu. Biarlah aku ditertawakan kali ini.
Aku berjalan menuju Masjid Sunda
Kelapa. Tampak sekeliling perjalananku rumah-rumah yang berlapis pagar yang
tinggi sekali. Bagai musafir yang tidak tahu arah, aku hanya mengikuti
orang-orang yang mengenakan baju koko lengkap dengan peci di kepala mereka.
Banyak sekali orang-orang yang
berdatangan. Aku terkejut. Aku segera bergegas karena azan magrib telah
berkumandang. Aku menitipkan sepatuku ke petugas masjid, tetapi, petugas
tersebut berkata, “Mau bermalam juga? Titip di sana saja,” terangnya. Aku
mengangguk.
Barisan pemuda penyambut tamu tampak
masih berdiri di depan meja. Mereka mengenakan pakaian coklat dan peci hitam. Aku
diminta mengisi buku tamu. Salat magrib pun dilaksanakan. Allahu Akbar.
Sesudah salat magrib, pembawa acara
berdiri mengumumkan beberapa rangkaian acara. Aku mengeluarkan buku kecil
catatanku. Dengan seksama aku mendengarkan setiap perkataan pembawa acara.
“Assalamu’alaikum,
selamat datang Bapak dan Ibu semua. Acara hari ini spesial sekali ada pemutaran
film cintasubuh2, lelang untuk korban
muslim etnis Rohingya, ceramah
sejarah islam, dan kuliah subuh menyambut Ramadhan,” ucap pembawa acara. Mari
kita saksikan film pendek cintasubuh2.
Penonton bertepuk tangan. Para pemuda dan Bapak pun turut hadir. Yang membuatku
bingung, kenapa harus dipisah oleh pembatas laki-laki dan perempuan di acara
ini. Naluri keingintahuanku semakin bertambah. Tiba-tiba, pemuda berkaca mata
yang berbadan gemuk berdiri. Dia memperkenalkan komunitas Pejuang Subuh. Aku
jadi semangat. Aku akan menemukan jawaban.
Pemuda itu berkata, “Kami adalah
para aktivis yang memiliki impian ingin meramaikan salat subuh berjamaah
seramai salat Jumat di masjid. Kami menamakan komunitas ini, Pejuang Subuh.
Bagi adik-adik, Ibu-Ibu, dan Bapak-Bapak yang ingin menjadi anggota komunitas
bisa bergabung dengan kami melalui panitia. Kami memiliki motto “Salat subuh
seramai salat jumat”. Aku terdiam. Kata-kata pemuda itu seperti menampar aku.
Subuh adalah waktu di mana aku paling susah untuk bangun. Aku suka bergadang
sampai pagi. Berkutat dengan tugas penelitianku sehingga di saat azan Subuh berkumandang,
aku masih bergemul dengan selimutku.
“Kami memiliki para pejuang subuh
yang sudah salat subuh berjamaah selama 40 hari berjamaah berturut-turut di
masjid. Semboyan untuk para pejuang ini adalah “istiqomah sampai khusnul khotimah,” ucap pemuda tersebut. Telah berdiri
sebanyak sepuluh orang, menyampaikan kesan menjadi anggota Pejuang Subuh. Aku
mendengarkan dengan baik. Perasaanku terharu. Aku menjadi sedih. Entahlah.
Kenapa aku menjadi seperti ini.
Waktu Isya tiba. Semua bersiap untuk
salat. Kegiatan dihentikan sementara. Allahu
Akbar. Suara takbir imam shalat terdengar seantero Masjid Sunda Kelapa.
Lantunan bacaannya membuat hatiku bergetar. Tidak terasa air mataku jatuh. Ada
semacam perasaan takut dan tenang mendengar bacaan sang imam di hatiku. Tiba-tiba
bayangan masa laluku terpancar di hadapanku. Banyak sekali waktu-waktu salat
yang aku abaikan. Bayangan wajah kedua orang tuaku juga sepintas hadir di
hadapanku. Semakin syahdu salatku.
***
Pembawa acara kembali berdiri. Dia
memutarkan film pendek cintasubuh2.
Aku menghapus air mataku. Film pun diputar. Film ini bercerita tentang pemuda
yang mengalami patah hati karena kekasihnya memutuskan hubungan asmara mereka
karena tidak pernah salat Subuh. Akhirnya, dia memilih benar-benar bertobat.
Pemuda itu meminta temannya untuk membangunkan dia. Berat rasanya bangun untuk salat
Subuh di awal-awal. Pemuda itu sampai disiram air karena tidak bangun. Dan ada
momen saat temannya menggunakan cara yang menyakitkan. Temannya mengambil
penjepit baju dan tali rafia. Penjepit baju yang kecil itu dijepitkan di
bibirnya hingga akhirnya dia terbangun. “Arrggggggghhh!”
teriak pemuda itu. Tertawalah semua penonton menyaksikan adegan tersebut.
Rasa penasaranku tentang pejuang subuh
ini telah terjawab. Aku pun menjadi tertarik untuk bergabung. Rangkaian acara
lain tetap aku ikuti dengan baik. Lelang barang pejuang subuh, ceramah, hingga
kegiatan malam bimbingan takwa atau dikenal mabit,
serta kuliah subuh menyambut Ramadhan. Aku ikuti semua. Niatku sudah mantap.
Aku ingin memperbaiki diriku. Aku melangkahkan kakiku ke meja panitia. Aku
mendaftar untuk menjadi anggota pejuang subuh.
“Mas, saya juga mau jadi anggota pejuang subuh,”
ucapku.
“Iya, silakan tulis nomor handphone yang ada Whatsapp-nya,
Mas,” ucap panitia. Aku mengangguk. Aku tulis nomor handphone-ku di secarik kertas yang disodorkan kepadaku. Minggu
pagi pun aku lalui dengan rasa kantuk. Semalaman aku tidak tidur. Aku
beribadah. Ketenangan hati aku dapatkan. Aku tidak menyesali menghadiri
kegiatan ini. Aku menuju kosan.
***
Tiga hari kemudian, HP-ku berbunyi. Ping, tanda pesan masuk. Ternyata ada
nomor baru. Kang Oman, salah satu pejuang subuh. Dia memperkenalkan diri. Aku
pun membalas. Kami saling tukar informasi. Kang Oman memberikan beberapa
peraturan tentang program pejuang subuh dan keberhasilan program tersebut. Kang
Oman berkata, “Salat Subuh dan Isya adalah shalat yang terasa berat bagi orang
munafik. Insya Allah saya akan membantu Mas Fahrul,” tutupnya.
Aku memutuskan tidak pulang ke Samarinda dan tetap
di Jakarta. Hari pertama aku belajar bangun subuh di mulai. Aku bersiap tidur
lebih awal. Aku menuruti pesan Kang Oman. Sebelum tidur, ber-wudhu terlebih dahulu.
Niatkanlah bangun untuk salat Subuh”. Alarm handphone pun diatur lebih keras.
Aku pun tertidur.
Pukul 05:30, aku baru bangun. Laporan panggilan di
handphoneku ada sebanyak 6 kali dari Kang Oman. Hari pertama aku gagal. Susah
juga aku bangun subuh, ucapku.
Peraturan yang tertera di dalam grup pejuang subuh,
“Bagi anggota yang salat Subuhnya berjamaah di masjid melapor dengan simbol
onta. Bagi yang telat datang berjamaah, tetapi masih bisa berjamaah melapor
dengan simbol domba. Bagi yang telat salat Subuh atau tidak shalat Subuh,
melapor dengan simbol ayam”. Aku pun melapor diri dengan simbol ayam.
Kang Oman berkata, “Mas Fahrul, kenapa kesiangan?,
tanyanya.
Nggak tau Kang, Saya mah sudah mengatur alarm kok, jawabku.
“tetap semangat Mas Fahrul”, balas Kang Oman.
Hari demi hari, aku jalani program pejuang subuh ini
yang memang sulit. Aku selalu susah
bangun lebih awal. Hingga akhirnya. Di hari ke-7, aku berhasil bangun lebih
awal. Itu pun terbangun karena mimpi buruk dikejar-kejar orang gila yang
membawa pisau. Keringat dingin bercucuran membasahi dahiku. Aku pun bergegas menuju musala yang ada di
dekat kos. Sarung kotak-kotak berwarna merah-, dan peci putih sudah aku
kenakan. Langkah kakiku mantap menuju musala. Salat sunnah sebelum salat Subuh
aku laksanakan.
Satu per satu orang mulai berdatangan. Kebanyakan
para orang tua renta. Tidak ada anak muda atau remaja. Aku terkejut. Aku
membayangkan negeri Turki yang setiap hari ramai salat Subuh seperti salat Jumat.
Pantas saja Turki lebih maju dari negeri ini. Bahkan lebih makmur penduduknya. Azan
Subuh pun berkumandang.
As’shalatuukho’irumminannaum…….
As’shalatuukho’irumminannaum……..
“Akhirnya, aku berhasil salat Subuh berjamaah,
ucapku lirih. Subhanallah-, Jadi ini
nikmat berjama’ah salat Subuh. Udara subuh memang sangat segar. Pikiranku juga
terasa lapang. Aku pun bergerak merasa tidak ada beban. Aku merasa bahagia.
Kebahagiaan kecil yang menyentuh hatiku.
Aku pun
melapor di grup pejuang subuh. Simbol yang selalu ayam, kini berubah menjadi
onta.
Kang Oman membalas dengan pesan singkat, “Alhamdulilah mas Fahrul. Pertahankan.
Niatkan karena Allah ya mas. Insya Allah bisa 40 hari berturut-turut berjama’ah
salat Subuhnya”,tulisnya.
Aku membalas dengan singkat, “-Insya Allah Kang.
Mantap, Luar biasa, Semoga menjadikan tempat berbagi Ilmu Mas Ozi.
BalasHapusTerimakasih Kang Yaya
BalasHapusBingung cari Situs Poker Terpercaya ??
BalasHapusSering kalah? lebih sering deposit dari pada wd??
Solusi Terbaik Buat Member Yang Sering Lose !!
Pokers128(dot)com
Buktiin Sendiri Main Di Pokers128 !
Bisa Main Dari HP !!
Support IOS & ANDROID
7 Games Dalam 1 User_ID
Menangkan Jackpot Harian S/d Puluhan Juta
Jackpot Global Ratusan Juta
Minimal Deposit Sangat Terjangkau !!
Rp 10,000
Withdraw Diproses Super Cepat !
1menit s/d 3menit
JANGAN TUNGGU DAN JANGAN RAGU LAGI UNTUK MENJADI SEORANG PEMENANG DAN DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA DI WWW.S1288POKER.COM
Info lebih lengkap,silahkan hubungi CS 24/7 kami melalui :
PIN BBM : 7AC8D76B
WA : 08122221680
Twitter : @S1288POKER