Blog yang memuat tentang pendidikan anak usia dini, catatan Hasan Harun, karya fiksi dan non fiksi serta motivasi diri. Selamat membaca. Ambil yang baik, dan tinggalkan yang buruk.

Jumat, 15 Januari 2016

Cerpen ( Kertas Mimpi )




            KERTAS MIMPI

Kertas mimpi berpelukan dengan malapetaka. Malapetaka yang belum terhapus zaman. Cinta sejati nan tulus pun kalah. Malapetaka terus menggetanyangiku. Kecuali mimpiku. Mimpi untuk mengubah dunia beserta isinya. Itulah kertas mimpi.

07 Juni 2012­ -

Kutorehkan impian-impianku. Impian yang tak terhitung jumlahnya. Rintik-rintik hujan yang membasahi genting rumahku terdengar seperti alunan melodi ringan di telingaku, alunan yang mengiringiku mencatat impian-impian penting dalam hidupku. Gores demi gores tinta penaku menghiasi kertas putih buku harianku. Impian-impian tersebut tertata rapi bagaikan buku-buku di atas rak. Indah. Aku percaya suatu hari impian-impian ini akan terwujud.
Menikahi kekasihku dan melanjutkan studi kuliah di Jakarta adalah satu di antara impian yang ingin segera kuwujudkan menjadi kenyataan. Dalam hati kecilku, aku bergumam, apakah mungkin impian ini tercapai?Aku tidak menghiraukan gundahan hatiku, kutulis saja dalam buku harian ini.
Hari ini adalah hari di mana usiaku bertambah. 21 tahun. Usia yang termasuk muda. Usia di mana aku sudah dewasa dan bebas menentukan jalan hidup sendiri. Tiba-tiba, suara ketokan terdengar dari pintu kamarku. Tok, tok, tok. “Iya masuk,” ucapku. Kriet, bunyi engsel tua terdengar saat seseorang membuka pintu kamarku. Ternyata Ibu. Raut wajahnya tampak sendu. Kenapa, Bu? tanyaku. Ibu pun langsung menangis dan memelukku. Aku bingung, tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menenangkannya. Iya Bu, kok tiba-tiba nangis? Ada apa? tanyaku. Sambil terbata-bata karena tangisnya, Ibu berkata, ”Ayahmu, Nak. Ayah kamu ternyata selama ini selingkuh dan sudah punya dua anaknya! Bergetar hatiku. Sesak dadaku. Aku kaget sekali mendengar kabar tersebut. Kabar di mana hari ini adalah hari bertambah usiaku. Malah seperti ini. Astagfirulahaldzhim, Ibu yang sabar ya, ucapku. Aku hanya bisa menguatkan Ibu seperti itu. Sebagai anak pertama, aku memang kecewa mendengar kabar tersebut. Ibu masih menangis, tidak terima kenyataan ini. Ayah. Dia belum pulang. Hujan semakin deras diiringi suara petir yang bersahut-sahutan. Perasaanku kacau. Tiada menentu. Tiba-tiba air mata ini mengalir membasahi pipiku.
Aku diam seribu bahasa, hanya menyaksikan Ibuku menangis. Tiba-tiba, adik-adikku datang ke kamarku. Dewi, Yana, dan Dhea duduk di dekat Ibu. “Ibu, cerai aja dengan Ayah. Gak usah lagi sama Ayah”, kata Dewi,nyakiti hati aja”, lanjutnya. Ucapannya penuh emosi. Iya, aku gak suka daripada nanti Ibu dipukul terus oleh Ayah,” ujar Yana tak mau kalah. Sedangkan Dhea hanya menangis tersedu-sedu. Dalam hati, aku bertanya, Ada apa dengan keluargaku ini ya Allah? Apa yang harus aku lakukan?
Suara pintu menjerit kencang. Brak! Ayahku datang dengan wajah menyeramkan seperti setan. Dia mencari Ibu. Nafasnya tidak beraturan. “Ma, kita bicara di dalam kamar sekarang!” bentak Ayah. Tangan Ayah menarik salah satu tangan Ibu dengan kasar. Ibu pun menjadi ketakutan. Dengan spotan, satu tangannya yang lain memelukku erat. “Aku tidak mau, Yah. Jangan paksa aku,” ucap Ibu sambil menangis. Adik-adikku histeris melihat Ayah dan Ibu mulai bertengkar. Dan berusaha sekuat tenaga melindungi Ibu dari tarikan paksa dan amukan Ayah. ”Kalian, tidak usah ikut campur! Ini urusan orang tua,” bentak Ayah.
Aku mematung sejenak, terkejut dengan peristiwa yang terjadi di depan mataku. Tidak terima sikap Ayah, aku berdiri. “Ayah! Tidak usah kasar dengan Ibu. Aku tidak suka!” ucapku. Suasana semakin panas. Ayahku tampak garang. Tidak menghiraukan ucapanku, Ayah membawa Ibu ke dalam kamar mereka dengan paksa. Adik-adikku bergemetaran ketakutan. Air mata mengalir deras membasahi pipi mereka. Aku pun mencoba menenangkan mereka. “Dek, tenanglah. Allah bersama kita,” ucapku dengan lembut. Mereka hanya diam seribu bahasa. Dhea mendekat padaku dan merebahkan kepalanya ke pahaku. “Aku takut, Kak. Aku gak mau Ibu dipukuli Ayah. Ayah jahat dengan kita, Kak,” ucapnya. Aku usap kepala adikku yang bungsu ini untuk menenangkannya. Mereka tertidur pulas dalam hening malam di kamarku. Sajadah berwarna hijau digelarkan di lantai. Takbir aku kumandangkan. Sujud dalam tangisku atas ujian maha dahsyat ini.
“Ceraikan aku, Yah. Aku tidak mau hidup dikhianati. Cinta dan kasih ini tidak bisa dibagi.” Tangis Ibu semakin menjadi. Aku berdiri tegak di depan pintu kamar. Bergegas menuju kamar mereka. “Sudah Ma! Aku tidak mau tahu. Ini warisan malapetaka kita,” ucap ayah. “Malapetaka itu tidak ada hubungannya dengan kehidupan pernikahan kita, Yah. Besok, kakak-kakak Mama datang,” balas Ibu. Ibu tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia yang telah tulus memberikan sepenuh hatinya kepada laki-laki yang kini menjadi suaminya harus membagi cintanya dengan wanita lain. Aku pergi ke dapur sambil menghela nafas. Ditemani buku impianku, aku duduk di atas kursi merah. Aku buka perlahan buku impian yang bersampul coklat. Satu per satu impianku kurangkai kembali. Aku ingin Ayah dan Ibu tidak bercerai, melanjutkan kuliah S2 di Jakarta, menikahi kekasihku, pergi naik haji bersama keluarga, keliling dunia, menjadi penulis buku, tapi kertas mimpi ini masih menyisakan banyak halaman kosong.
Pikiranku kalut. Memikirkan hari esok. Hari yang menggembirakan bagiku berubah menjadi hari yang paling menyedihkan. Khawatir. Wisuda yang aku rindukan berganti menjadi sidang keluarga besar. Sidang yang tak aku harapkan. Buku coklat emas telah tertutup bersama berakhirnya cekcok keluargaku.
Tiba-tiba, suara langkah kaki dihentakkan keras menuju dapur. Sosok berbadan tegap dengan mata berwarna hitam coklat muncul di hadapanku. Ayah. Dia duduk di depanku. “Kenapa kamu belum tidur? Kamu mau ikut campur juga?” katanya dengan nada penuh kesombongan, dia lontarkan kepadaku. Mungkin dia ingin berbincang denganku, tapi aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya. Dia mulai menceritakan sejarah keluarga besar kami.
Kakek-kakekku adalah para tokoh pemuka masyarakat yang disegani. Semua lapisan masyarakat menghormati mereka. Kakekku dari pihak ayah adalah seorang keturunan kerajaan di Jawa yang kabur ke Kalimantan. Dia memiliki keturunan sebanyak 7 anak. Anak ketiga adalah Ayah. Sosro, panggilan kakekku. Dia juga memiliki 3 istri. Sedangkan Ibu memiliki dua orang Ayah. Ayah kandung dan Ayah asuh. Ibuku lahir dari keluarga petani yang miskin. Ayah kandung Ibu adalah seorang petani yang memiliki 9 orang istri. Dia paranormal terkenal di kampungnya. Harun atau di kenal Ki Harun. Kepercayaan mistis warga desa masih sangat tinggi. Ki Harun dikenal memiliki kesaktian tinggi. Dia bisa berpindah ke mana saja dalam hitungan detik dan mengobati orang sakit. Tapi, kemiskinan senantiasa tidak mau melepaskan diri darinya. Ibu terlahir dari istri kedua. Baru tiga hari Ibu menghirup udara di dunia ini, dia diberikan kepada seorang yang bernama Hasan yang bekerja sebagai guru mengaji. Dialah Ayah asuh Ibu. Tapi Ayah asuh ibu pun memiliki 4 orang istri. Itulah malapetaka dari keluarga besar ayah dan ibuku.
“Kamu sebagai anak laki-laki pertama, tidak boleh lembek dan melempem seperti kerupuk. Kamu juga tidak boleh membenci ayah,” ucap ayah. Ayah menutup ceritanya.
***
08 Juni 2012 -
            Wisuda di Universitas Mulawarman yang aku nantikan tidak membuat aku bergairah. Pagi buta menembus kabut embun menuju auditorium. Semangatku menurun. Kedua orang tuaku tidak menghadiri acara wisudaku. Mereka disidang oleh seluruh keluarga besar. Rissa, kekasihku menemaniku. Adik-adikku juga tidak datang. Mereka sekolah. Ingin rasanya aku segera pulang saja. Untuk menjadi saksi sidang keluarga besar. “Aku benci takdir seperti ini,” ucapku kepada Rissa. Aku lampiaskan kekecewaanku atas malapetaka yang terjadi pada keluargaku dengan bercerita kepada Rissa.
            “Sabar Kak. Aku tidak bisa ngomong apa-apa. Aku sedih kakak seperti ini.” Rissa menguatkanku. Aku mengangguk.
            Dalam suasana wisuda, semua orang dihadiri oleh keluarganya. Tapi tidak denganku. Hanya Rissa yang hadir pada momen yang seharusnya menjadi salah satu momen terindah dan bahagia dalam hidupku. Rissa yang setia menungguku duduk di barisan bangku berwarna biru. Dia mengenakan baju kemeja berwarna ungu dan jilbab ungu. Terdengar keras suara pembawa acara memanggil namaku. Aku pun menuju podium. Tali togaku dipindahkan dari kiri menuju ke kanan. Hanya begini saja. Hampa. Tidak lebih artinya bagiku. Tidak ada perasaan sakral atau haru dalam hatiku. Pikiranku melayang ke rumah. Kekhawatiran menghantuiku sepanjang acara wisuda. Apa yang terjadi di sana? Apa Ibu baik-baik saja? Apakah Ibu terus menangis? Bagaimana kalau mereka jadi bercerai? Begitu banyak pertanyaan bergentayangan dalam pikiranku. Acara wisuda berakhir. Aku dan Rissa berfoto bersama bagaikan suami dan istri. Tanganku menggandeng tangan Rissa. Dia tersenyum manis. Bidadariku. Rissa. Dialah bidadari yang ingin aku nikahi.
***
09 Juni 2012 -
            Ayah duduk melamun di ruang tamu. Cukup lama dia melamun. Ibu berada di dekatnya. Minggu adalah hari di mana kami sekeluarga duduk bersama. Sambil menyeruput kopi hitam, ayah membuka pembicaraan. “Aldi, bagaimana hubungan kamu dengan pacar kamu?” tanyanya. Pertanyaan yang membuat aku tersentak. “Maksud ayah gimana? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu. Aldi tidak mengerti,” jawabku.
            Ibu berkata, “Kami tidak jadi bercerai, Al”. Wajah ibu tampak tegar menerima keputusan tersebut. Dia seolah ikhlas menerima yang terjadi saat ini. Apakah ibu memaafkan ayah?” tanyaku. Ayah hanya diam. Ibu mengangguk. Tiba-tiba, Dewi ikut bicara, “Ayah dan Ibu berencana ingin menikahkan kamu, Kak. Ayah sudah berjanji kemarin akan menceraikan istri yang di sana. Ayah ingin kakak segera menikahi Dita daripada pacaran terus”. Mulutku terkunci. Ini seperti mimpi. Aku baru saja menulis impian menikahi Rissa, ternyata sudah ada jalan untuk mewujudkannya. “Bagaimana keputusan kamu?” tanya Ayah dengan lembut. “Aku tidak tahu, Yah. Keluarga Rissa belum tahu hubungan kami. Aku khawatir mereka takut aku seperti Ayah” jawabku. Ayahku mengeluarkan surat pernyataan bahwa dia benar-benar akan menceraikan istri keduanya. Di surat itu tertulis, ia berjanji akan menceraikan istri keduanya dan menyerahkan beberapa hektar tanah untuk kehidupan anak-anaknya di sana. Dia juga berjanji segera menikahkan aku dan membantu aku melanjutkan kuliah S2 ke Jakarta.
            Ibu berdiri di hadapanku. Ia berkata, “Malapetaka kemarin ingin kami hapus. Kami mencintai kalian, anak-anakku. Kalian adalah harta kami paling berharga”. Air mataku mengalir deras mendengar kata-kata tersebut. Ibu tegar bagaikan karang yang setiap hari terkena hantaman ombak. Dia rela memaafkan Ayah demi anak-anaknya. Surga lebih dia pilih. Penderitaan dan kesedihan adalah syarat yang harus dipenuhi Ibu untuk dapat masuk ke surga. “Selamat ya, Nak, kuliah kamu selesai dan status kamu akan berubah. Itulah kado ulang tahun buat kamu di usia 21 tahun”, ucap ibu kepadaku.
            “Kamu segera temui keluarga Rissa di Balikpapan. Om Nanang, Ayah, dan Ibu akan ikut mendampingimu. Setelah kamu menikah, segera kamu menuju Jakarta untuk melanjutkan kuliah S2 kamu,” ucap ayah sambil menyeruput kopi manisnya.
***
17 Agustus 2014
            Minggu pagi menyapaku dengan peringatan kemerdekaan. Aku beserta keluargaku menuju Balikpapan untuk melamar Rissa. Gugup. Perasaanku bercampur aduk. Sepanjang jalan aku hanya diam. Kepingan-kepingan puzzle masalah keluargaku silih berganti memenuhi pikiranku bagai kilasan balik yang diputar berulang-ulang. Satu pertanyaan besarku. Apakah malapetaka ini sudah dihentikan? Khawatir. Lamaran ini ditolak. Terlebih, sejarah kelam keluargaku yang masih menghantuiku. Maukah keluarga Rissa menerima aib keluargaku. Maukah? Tapi mana ada keluarga yang ingin anaknya dimadu. Tidak. Tidak ada. Tapi, bukankah aku juga tidak ada niat untuk memadu Rissa? Tidak. Tidak ada niat dalam hatiku untuk memadunya. Hanya dia bidadari hatiku. Hanya dia. Ya. Aku bukanlah Ayah ataupun kakek. Aku adalah aku. Aku ingin bebas. Aku ingin merdeka. Merdeka dari penjajahan masa lalu kelam keluargaku.
            “Kenapa kamu diam, Al?” tanya Ibu tiba-tiba. Aku tersentak sesaat dengan pertanyaan Ibu yang tiba-tiba.
            “Tidak apa-apa, hanya gugup Bu,” kataku spontan menjawab pertanyaan Ibu. Semua mata tertuju kepadaku yang duduk di kursi belakang. “Tidak usah gugup, kamu, kan, sudah dewasa,” ucap Om Nanang. Aku mengangguk walau masih ada keresahan dalam hatiku. Jalanan tampak lengang. Sepi. Mobil melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Samar-samar, aku membayangkan masa depan. Melanjutkan S2 sambil membangun rumah tangga sepertinya tidaklah mudah. Di sisi lain, aku harus bertanggung jawab sebagai seorang suami. Padahal pekerjaan saja aku belum punya.
            Mobil pun berhenti. Ayah mematikan mesin dan berkata, ”Aib keluarga kita, ayah rasa tidak perlu bicarakan di hadapan keluarga Rissa. Cukup dibahas di keluarga kita saja”. “Bujur[1] itu Gus, yang lalu sudah berlalu. Semoga Ozie diterima lamarannya,” balas Om Nanang dengan bijak. Aku melihat Ibu meneteskan air mata. “Kenapa Ibu, kok sedih?” tanyaku. “Ibu hanya terharu, Nak. Ibu bahagia melihat anak Ibu, laki-laki satu-satunya, kini mau melepas bujang. Kamu jangan seperti Ayah ya? Cukup kami saja yang mengalami. Ayah mengambil tisu dan menghapuskan air mata Ibu lalu memegang tangan Ibu. “Makasih sudah memaafkan aku, Ma,” ucap ayah. Kami satu per satu keluar dari mobil. Dan tampak sosok laki-laki kekar berkacamata dengan kumis tebal seperti Pak Raden menyambut kami. Dia Pak Bowo. Ayah Rissa. Calon mertuaku.
            Assalamu’alaikum, mari silahkan masuk,” ucapnya ramah. Ayah membalas salamnya dan bersalaman dengan Pak Bowo. Om Nanang tampak kagum melihat rumah keluarga Dita. Pepohonan berdiri tegak. Pancaran air kolam  ikan mengalir deras. Suara-suara burung bersahut-sahutan. Makanan-makanan juga tertata rapi di atas meja ruang tamu. Kami duduk di atas kursi jati dengan guratan ukiran indah dalam balutan warna coklat. Di depanku ada Kak Tiara, Kakaknya Rissa. Dia berbusana gamis berwarna merah. Dia tersenyum padaku. Pak Bowo membuka pembicaraan.
            “Kami sudah mengetahui niat baik Bapak sekeluarga ke sini,” ucapnya dengan nada serius. “Silakan dinikmati hidangan yang ada. Hanya segini,” lanjut Pak Bowo. Om Nanang sebagai perwakilan keluarga membalas ucapan Pak Bowo. “Iya, seperti yang Bapak sudah ketahui. Kami ke sini berniat menyampaikan maksud menikahkan anak kami dengan anak Bapak. Hubungan mereka sudah cukup lama. Kasian jika ujung-ujungnya tidak jadi menikah,” ucap Om Nanang. Aku hanya diam. Menjadi pendengar yang baik. Rissa tidak terlihat. Mungkin dia di kamar. “Saya minta maaf sebelumnya. Kami sekeluarga sudah mengetahui masalah keluarga sampean[2],” ucap Pak Bowo.  Kaget aku mendengar penyataan barusan. Padahal aku telah mengingatkan Dita untuk tidak bercerita. Air muka Ayah berubah memerah. Ibu hanya diam. Pak Bowo melanjutkan pembicaraanya, “Apakah ke depannya nanti Aldi bisa menjadi suami yang baik bagi anak kami?” pertanyaan itu mengarah kepadaku. Semua orang mengarahkan pandangannya kepadaku. Ayah dan Ibu memandangku lekat-lekat. Kedua bola mata mereka tampak pasrah dengan apapun yang aku ucapkan. Aku masih diam. Hatiku berdebar. Otakku berputar keras memikirkan jawaban apa yang tepat. “Bagaimana, Al?” tanya Ayah padaku.
            Insya Allah, jika Bapak mempercayai saya untuk menjaga dan tidak mengecewakan anak Bapak, saya berjanji tidak akan pernah membuat Rissa kecewa. Saya mencintai Rissa,” ucapku. Pak Bowo mengangguk menanggapi jawabanku. “Tapi, Nak Aldi. Anak kami belum selesai kuliahnya. Kamu juga baru lulus kuliah. Apakah tidak sebaiknya ditunda dulu,” balas Pak Bowo.
Ayah dengan nada diplomasi berkata, “Jika seperti itu, apakah ada jaminan Rissa mau menunggu anak kami, Pak? Kami berencana menyekolahkan kembali Aldi ke Jakarta. Tujuan kami menikahkan Aldi agar ia selama di Jakarta ada yang mengurus dan memperhatikannya”. Pembicaraan semakin serius. Keluarga Rissa memberikan sinyal menolak lamaran ini dengan alasan anaknya masih kuliah. Rissa pun keluar. Dia hanya tertunduk. Tidak berani menatapku.
Sambil menghela nafas, Pak Bowo berkata, “Mohon maaf sepertinya kami tidak bisa memberikan jaminan itu. Masalah perasaan tidak ada yang bisa menentukan. Lamaran ini tidak bisa kami terima,” tutup Pak Bowo. Aku berusaha kuat untuk menyakinkan Pak Bowo. Ayah pun tersenyum. Ibu memegang tanganku, memberi tanda kepadaku untuk menerima keputusan Pak Bowo. Om Nanang pun kembali menyuarakan suara seraknya. Dia berkata, “Baiklah Pak Bowo. Pernikahan yang ideal memang tidak boleh ada unsur paksaan. Kami memahami keputusan Bapak beserta keluarga”. Kedua keluarga yang berbeda budaya dan kota ini saling bersalaman. Tanda kami ingin pulang. Aku pun menghampiri Rissa. “Dek, maafkan kakak jika ada salah. Kakak pamit,” ucapku tersenyum. Rissa menatapku lemah.
***
            Pukul 20:00, kami sampai rumah. Sepanjang jalan tidak ada dialog. Aku langsung menutup kamar. Menenangkan diri. Perasaan malu mencabik hatiku. Aib yang seharusnya tidak diceritakan malah terkuak ke permukaan. Kami sekeluarga sangat malu. Ayah dan Ibu menyusulku ke dalam kamar. Mereka duduk di dekatku. “Kenapa Rissa seperti itu?” tanya Ayah dengan nada kecewa. “Seharusnya, Rissa menutupi aib kita. Selama ini kan, kita mau mengurus dia di Samarinda. Tidak tahu terima kasih,” lanjut Ayah. “Aldi tidak tahu, Yah,” ucapku datar. Ayah berdiri dan keluar dari kamarku, memberi waktu untuk aku menenangkan diri. Hanya Ibu yang masih duduk di dalam kamarku. Dipandanginya aku lekat-lekat. Matanya memancarkan penuh kasih sayang. Naluri keibuannya mungkin berkata bahwa anak laki-lakinya saat ini sedang terluka.
            “Nak, kamu harus bangkit. Lanjutkan kuliah kamu. Ini jalanmu. Lupakan Rissa. Menuntut ilmu butuh pengorbanan. Ikhlaskan yang telah terjadi. Di mana kaki berpijak, di situ langit di junjung tinggi. Tidak usah kamu pikirkan. Orang baik pasti bertemu dengan yang baik,” hibur Ibu. Ibu keluar dari kamarku setelah meletakkan sebuah buku catatan di atas mejaku. “Buatlah kisah dan mimpi yang baru, Nak,” ujarnya sambil tersenyum lalu menghilang dari balik pintu kamarku.
            Aku gelar sajadah hijauku. Takbir aku kumandangkan. Mengadu pada Allah. Betapa bebanku terasa berat. Aku merasa tidak mampu memikulnya. Tetesan airmataku berjatuhan. Suaraku menjadi parau. Sujud panjang penutup salatku. Aku sampaikan semua keluh kesahku kepada-Nya dalam sujudku. Langkahku mantap melanjutkan kuliah ke Jakarta dan melupakan Rissa. Bismillahirrahmanirrahim.
***
Kertas mimpi berpelukan dengan malapetaka. Malapetaka yang belum terhapus zaman. Cinta sejati dan tulus pun kalah. Malapetaka terus menggetanyangiku. Kecuali mimpiku. Mimpi untuk mengubah dunia beserta isinya. Itulah kertas mimpi. Dia menemaniku malam ini. Bernostalgia bersama bayang-bayang masa lalu. Aku ambil mutiara hikmah pelajaran kegelapan. Aku yakin masa cerah sudah menungguku dalam uluran tangan-Nya. Malapetaka pun pasti bisa hancur luluh lantah dalam genggamanku.  Genggamanku bersama lembaran kertas mimpi. Aku katakan pada masa lalu, “Aku telah berhijrah. Selamat datang kertas mimpi yang baru!”.






[1]  Bujur dalam Bahasa Banjar berarti ‘Benar’.
[2] Anda.
Share:

Related Posts:

1 komentar:

  1. Bingung cari Situs Poker Terpercaya ??
    Sering kalah? lebih sering deposit dari pada wd??

    Solusi Terbaik Buat Member Yang Sering Lose !!
    Pokers128(dot)com

    Buktiin Sendiri Main Di Pokers128 !

    Bisa Main Dari HP !!
    Support IOS & ANDROID

    7 Games Dalam 1 User_ID

    Menangkan Jackpot Harian S/d Puluhan Juta
    Jackpot Global Ratusan Juta

    Minimal Deposit Sangat Terjangkau !!
    Rp 10,000

    Withdraw Diproses Super Cepat !
    1menit s/d 3menit

    JANGAN TUNGGU DAN JANGAN RAGU LAGI UNTUK MENJADI SEORANG PEMENANG DAN DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA DI WWW.S1288POKER.COM

    Info lebih lengkap,silahkan hubungi CS 24/7 kami melalui :
    PIN BBM : 7AC8D76B
    WA : 08122221680
    Twitter : @S1288POKER

    BalasHapus

silabus dan rpp matakuliah

KUMPULAN SILABUS DAN RPP MATA KULIAH YANG DIAMPU

KAPITA SELEKTA PAUD ASESMEN AUD PENGEMBANGAN APE MEDIA DAN SUMBER BELAJAR PAUD KESEHATAN DAN GIZI MODEL PENGEMBANGAN SOSEM AUD TEORI ...

Total Tayangan Blog

13,752
Diberdayakan oleh Blogger.

About

Flag Counter

Blogger templates