KERTAS MIMPI
Kertas mimpi berpelukan dengan malapetaka.
Malapetaka yang belum terhapus zaman. Cinta sejati nan tulus pun kalah.
Malapetaka terus menggetanyangiku. Kecuali mimpiku. Mimpi untuk mengubah dunia
beserta isinya. Itulah kertas mimpi.
07
Juni 2012 -
Kutorehkan impian-impianku. Impian yang tak
terhitung jumlahnya. Rintik-rintik hujan yang membasahi genting rumahku terdengar
seperti alunan melodi ringan di telingaku, alunan yang mengiringiku mencatat
impian-impian penting dalam hidupku. Gores
demi gores tinta penaku menghiasi kertas putih buku harianku. Impian-impian
tersebut tertata rapi bagaikan buku-buku di atas rak. Indah. Aku percaya suatu
hari impian-impian ini akan terwujud.
Menikahi kekasihku dan
melanjutkan studi kuliah di Jakarta adalah satu di antara impian yang ingin
segera kuwujudkan menjadi kenyataan. Dalam hati kecilku, aku
bergumam, “apakah mungkin impian ini tercapai?” Aku tidak menghiraukan gundahan hatiku, kutulis saja dalam buku harian ini.
Hari ini adalah hari di mana usiaku bertambah. 21 tahun. Usia yang termasuk muda. Usia di mana aku sudah dewasa dan
bebas menentukan jalan hidup sendiri. Tiba-tiba, suara ketokan terdengar dari pintu kamarku. Tok, tok,
tok. “Iya masuk,”
ucapku. Kriet, bunyi engsel tua terdengar saat seseorang membuka pintu
kamarku. Ternyata Ibu. Raut wajahnya tampak sendu. “Kenapa, Bu?” tanyaku. Ibu pun langsung menangis dan memelukku. Aku bingung,
tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menenangkannya. “Iya
Bu, kok tiba-tiba
nangis? Ada apa?”
tanyaku. Sambil terbata-bata karena tangisnya, Ibu berkata, ”Ayahmu,
Nak. Ayah kamu ternyata
selama ini selingkuh dan sudah punya
dua anaknya!” Bergetar hatiku.
Sesak
dadaku. Aku kaget sekali mendengar kabar tersebut. Kabar di mana
hari ini adalah hari bertambah
usiaku. Malah seperti ini. “Astagfirulahaldzhim, Ibu yang
sabar ya,” ucapku. Aku
hanya bisa menguatkan Ibu seperti itu. Sebagai anak pertama, aku memang kecewa
mendengar kabar tersebut.
Ibu masih menangis,
tidak
terima kenyataan ini. Ayah. Dia belum pulang. Hujan
semakin deras diiringi suara petir yang bersahut-sahutan. Perasaanku kacau.
Tiada menentu. Tiba-tiba air mata ini mengalir membasahi pipiku.
Aku diam seribu bahasa, hanya menyaksikan Ibuku menangis. Tiba-tiba, adik-adikku datang ke kamarku. Dewi, Yana, dan Dhea duduk di dekat Ibu. “Ibu, cerai aja dengan Ayah. Gak usah lagi sama Ayah”, kata Dewi, “nyakiti hati
aja”,
lanjutnya. Ucapannya penuh emosi. “Iya, aku
gak suka daripada nanti Ibu dipukul terus oleh Ayah,”
ujar Yana tak mau kalah. Sedangkan Dhea
hanya menangis tersedu-sedu. Dalam hati, aku bertanya, Ada apa dengan keluargaku ini
ya Allah? Apa yang harus aku lakukan?
Suara pintu menjerit kencang. Brak! Ayahku datang dengan wajah menyeramkan seperti setan. Dia
mencari Ibu. Nafasnya tidak beraturan. “Ma, kita bicara di dalam kamar
sekarang!” bentak Ayah. Tangan Ayah menarik salah satu tangan Ibu dengan kasar.
Ibu pun menjadi ketakutan. Dengan spotan, satu tangannya yang lain memelukku erat.
“Aku tidak mau, Yah. Jangan paksa aku,” ucap Ibu sambil menangis. Adik-adikku
histeris melihat Ayah dan Ibu mulai bertengkar. Dan berusaha sekuat tenaga
melindungi Ibu dari tarikan paksa dan amukan Ayah. ”Kalian, tidak usah ikut
campur! Ini urusan orang tua,” bentak Ayah.
Aku mematung sejenak, terkejut dengan peristiwa yang
terjadi di depan mataku. Tidak terima sikap Ayah, aku berdiri. “Ayah! Tidak
usah kasar dengan Ibu. Aku tidak suka!” ucapku. Suasana semakin panas. Ayahku
tampak garang. Tidak menghiraukan ucapanku, Ayah membawa Ibu ke dalam kamar
mereka dengan paksa. Adik-adikku bergemetaran ketakutan. Air mata mengalir
deras membasahi pipi mereka. Aku pun mencoba menenangkan mereka. “Dek,
tenanglah. Allah bersama kita,” ucapku dengan lembut. Mereka hanya diam seribu
bahasa. Dhea mendekat padaku dan merebahkan kepalanya ke pahaku. “Aku takut, Kak.
Aku gak mau Ibu dipukuli Ayah. Ayah
jahat dengan kita, Kak,” ucapnya. Aku usap kepala adikku yang bungsu ini untuk
menenangkannya. Mereka tertidur pulas dalam hening malam di kamarku. Sajadah
berwarna hijau digelarkan di lantai. Takbir aku kumandangkan. Sujud dalam
tangisku atas ujian maha dahsyat ini.
“Ceraikan aku, Yah. Aku tidak mau hidup dikhianati.
Cinta dan kasih ini tidak bisa dibagi.” Tangis Ibu semakin menjadi. Aku berdiri
tegak di depan pintu kamar. Bergegas menuju kamar mereka. “Sudah Ma! Aku tidak
mau tahu. Ini warisan malapetaka kita,” ucap ayah. “Malapetaka itu tidak ada
hubungannya dengan kehidupan pernikahan kita, Yah. Besok, kakak-kakak Mama datang,”
balas Ibu. Ibu tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia yang telah tulus
memberikan sepenuh hatinya kepada laki-laki yang kini menjadi suaminya harus
membagi cintanya dengan wanita lain. Aku pergi ke dapur sambil menghela nafas. Ditemani
buku impianku, aku duduk di atas kursi merah. Aku buka perlahan buku impian
yang bersampul coklat. Satu per satu impianku kurangkai kembali. Aku ingin Ayah
dan Ibu tidak bercerai, melanjutkan kuliah S2 di Jakarta, menikahi kekasihku, pergi
naik haji bersama keluarga, keliling dunia, menjadi penulis buku, tapi kertas
mimpi ini masih menyisakan banyak halaman kosong.
Pikiranku kalut. Memikirkan hari esok. Hari yang
menggembirakan bagiku berubah menjadi hari yang paling menyedihkan. Khawatir. Wisuda
yang aku rindukan berganti menjadi sidang keluarga besar. Sidang yang tak aku
harapkan. Buku coklat emas telah tertutup bersama berakhirnya cekcok
keluargaku.
Tiba-tiba, suara langkah kaki dihentakkan keras
menuju dapur. Sosok berbadan tegap dengan mata berwarna hitam coklat muncul di
hadapanku. Ayah. Dia duduk di depanku. “Kenapa kamu belum tidur? Kamu mau ikut
campur juga?” katanya dengan nada penuh kesombongan, dia lontarkan kepadaku. Mungkin
dia ingin berbincang denganku, tapi aku hanya diam, tidak menjawab
pertanyaannya. Dia mulai menceritakan sejarah keluarga besar kami.
Kakek-kakekku adalah para tokoh pemuka masyarakat
yang disegani. Semua lapisan masyarakat menghormati mereka. Kakekku dari pihak
ayah adalah seorang keturunan kerajaan di Jawa yang kabur ke Kalimantan. Dia memiliki
keturunan sebanyak 7 anak. Anak ketiga adalah Ayah. Sosro, panggilan kakekku.
Dia juga memiliki 3 istri. Sedangkan Ibu memiliki dua orang Ayah. Ayah kandung
dan Ayah asuh. Ibuku lahir dari keluarga petani yang miskin. Ayah kandung Ibu
adalah seorang petani yang memiliki 9 orang istri. Dia paranormal terkenal di
kampungnya. Harun atau di kenal Ki Harun. Kepercayaan mistis warga desa masih
sangat tinggi. Ki Harun dikenal memiliki kesaktian tinggi. Dia bisa berpindah
ke mana saja dalam hitungan detik dan mengobati orang sakit. Tapi, kemiskinan
senantiasa tidak mau melepaskan diri darinya. Ibu terlahir dari istri kedua.
Baru tiga hari Ibu menghirup udara di dunia ini, dia diberikan kepada seorang yang
bernama Hasan yang bekerja sebagai guru mengaji. Dialah Ayah asuh Ibu. Tapi Ayah
asuh ibu pun memiliki 4 orang istri. Itulah malapetaka dari keluarga besar ayah
dan ibuku.
“Kamu sebagai anak laki-laki pertama, tidak boleh
lembek dan melempem seperti kerupuk. Kamu juga tidak boleh membenci ayah,” ucap
ayah. Ayah menutup ceritanya.
***
08
Juni 2012 -
Wisuda di Universitas Mulawarman
yang aku nantikan tidak membuat aku bergairah. Pagi buta menembus kabut embun
menuju auditorium. Semangatku menurun. Kedua orang tuaku tidak menghadiri acara
wisudaku. Mereka disidang oleh seluruh keluarga besar. Rissa, kekasihku
menemaniku. Adik-adikku juga tidak datang. Mereka sekolah. Ingin rasanya aku
segera pulang saja. Untuk menjadi saksi sidang keluarga besar. “Aku benci
takdir seperti ini,” ucapku kepada Rissa. Aku lampiaskan kekecewaanku atas
malapetaka yang terjadi pada keluargaku dengan bercerita kepada Rissa.
“Sabar Kak. Aku tidak bisa ngomong apa-apa. Aku sedih kakak seperti
ini.” Rissa menguatkanku. Aku mengangguk.
Dalam suasana wisuda, semua orang
dihadiri oleh keluarganya. Tapi tidak denganku. Hanya Rissa yang hadir pada
momen yang seharusnya menjadi salah satu momen terindah dan bahagia dalam
hidupku. Rissa yang setia menungguku duduk di barisan bangku berwarna biru. Dia
mengenakan baju kemeja berwarna ungu dan jilbab ungu. Terdengar keras suara
pembawa acara memanggil namaku. Aku pun menuju podium. Tali togaku dipindahkan
dari kiri menuju ke kanan. Hanya begini saja. Hampa. Tidak lebih artinya
bagiku. Tidak ada perasaan sakral atau haru dalam hatiku. Pikiranku melayang ke
rumah. Kekhawatiran menghantuiku sepanjang acara wisuda. Apa yang terjadi di sana? Apa Ibu baik-baik saja? Apakah Ibu terus
menangis? Bagaimana kalau mereka jadi bercerai? Begitu banyak pertanyaan
bergentayangan dalam pikiranku. Acara wisuda berakhir. Aku dan Rissa berfoto
bersama bagaikan suami dan istri. Tanganku menggandeng tangan Rissa. Dia
tersenyum manis. Bidadariku. Rissa. Dialah bidadari yang ingin aku nikahi.
***
09
Juni 2012 -
Ayah duduk melamun di ruang tamu.
Cukup lama dia melamun. Ibu berada di dekatnya. Minggu adalah hari di mana kami
sekeluarga duduk bersama. Sambil menyeruput kopi hitam, ayah membuka
pembicaraan. “Aldi, bagaimana hubungan kamu dengan pacar kamu?” tanyanya.
Pertanyaan yang membuat aku tersentak. “Maksud ayah gimana? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu. Aldi tidak mengerti,”
jawabku.
Ibu berkata, “Kami tidak jadi
bercerai, Al”. Wajah ibu tampak tegar menerima keputusan tersebut. Dia seolah
ikhlas menerima yang terjadi saat ini. Apakah ibu memaafkan ayah?” tanyaku.
Ayah hanya diam. Ibu mengangguk. Tiba-tiba, Dewi ikut bicara, “Ayah dan Ibu
berencana ingin menikahkan kamu, Kak. Ayah sudah berjanji kemarin akan
menceraikan istri yang di sana. Ayah ingin kakak segera menikahi Dita daripada
pacaran terus”. Mulutku terkunci. Ini seperti mimpi. Aku baru saja menulis
impian menikahi Rissa, ternyata sudah ada jalan untuk mewujudkannya. “Bagaimana
keputusan kamu?” tanya Ayah dengan lembut. “Aku tidak tahu, Yah. Keluarga Rissa
belum tahu hubungan kami. Aku khawatir mereka takut aku seperti Ayah” jawabku. Ayahku
mengeluarkan surat pernyataan bahwa dia benar-benar akan menceraikan istri
keduanya. Di surat itu tertulis, ia berjanji akan menceraikan istri keduanya
dan menyerahkan beberapa hektar tanah untuk kehidupan anak-anaknya di sana. Dia
juga berjanji segera menikahkan aku dan membantu aku melanjutkan kuliah S2 ke
Jakarta.
Ibu berdiri di hadapanku. Ia
berkata, “Malapetaka kemarin ingin kami hapus. Kami mencintai kalian,
anak-anakku. Kalian adalah harta kami paling berharga”. Air mataku mengalir
deras mendengar kata-kata tersebut. Ibu tegar bagaikan karang yang setiap hari terkena
hantaman ombak. Dia rela memaafkan Ayah demi anak-anaknya. Surga lebih dia
pilih. Penderitaan dan kesedihan adalah syarat yang harus dipenuhi Ibu untuk
dapat masuk ke surga. “Selamat ya, Nak,
kuliah kamu selesai dan status kamu akan berubah. Itulah kado ulang tahun buat
kamu di usia 21 tahun”, ucap ibu kepadaku.
“Kamu segera temui keluarga Rissa di
Balikpapan. Om Nanang, Ayah, dan Ibu akan ikut mendampingimu. Setelah kamu
menikah, segera kamu menuju Jakarta untuk melanjutkan kuliah S2 kamu,” ucap
ayah sambil menyeruput kopi manisnya.
***
17
Agustus 2014
Minggu pagi menyapaku dengan
peringatan kemerdekaan. Aku beserta keluargaku menuju Balikpapan untuk melamar
Rissa. Gugup. Perasaanku bercampur aduk. Sepanjang jalan aku hanya diam. Kepingan-kepingan
puzzle masalah keluargaku silih
berganti memenuhi pikiranku bagai kilasan balik yang diputar berulang-ulang.
Satu pertanyaan besarku. Apakah malapetaka ini sudah dihentikan? Khawatir. Lamaran
ini ditolak. Terlebih, sejarah kelam keluargaku yang masih menghantuiku. Maukah
keluarga Rissa menerima aib keluargaku. Maukah? Tapi mana ada keluarga yang
ingin anaknya dimadu. Tidak. Tidak ada. Tapi, bukankah aku juga tidak ada niat
untuk memadu Rissa? Tidak. Tidak ada niat dalam hatiku untuk memadunya. Hanya
dia bidadari hatiku. Hanya dia. Ya. Aku bukanlah Ayah ataupun kakek. Aku adalah
aku. Aku ingin bebas. Aku ingin merdeka. Merdeka dari penjajahan masa lalu kelam
keluargaku.
“Kenapa kamu diam, Al?” tanya Ibu
tiba-tiba. Aku tersentak sesaat dengan pertanyaan Ibu yang tiba-tiba.
“Tidak apa-apa, hanya gugup Bu,”
kataku spontan menjawab pertanyaan Ibu. Semua mata tertuju kepadaku yang duduk
di kursi belakang. “Tidak usah gugup, kamu, kan,
sudah dewasa,” ucap Om Nanang. Aku mengangguk walau masih ada keresahan dalam
hatiku. Jalanan tampak lengang. Sepi. Mobil melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Samar-samar,
aku membayangkan masa depan. Melanjutkan S2 sambil membangun rumah tangga
sepertinya tidaklah mudah. Di sisi lain, aku harus bertanggung jawab sebagai
seorang suami. Padahal pekerjaan saja aku belum punya.
Mobil pun berhenti. Ayah mematikan
mesin dan berkata, ”Aib keluarga kita, ayah rasa tidak perlu bicarakan di
hadapan keluarga Rissa. Cukup dibahas di keluarga kita saja”. “Bujur[1] itu
Gus, yang lalu sudah berlalu. Semoga Ozie diterima lamarannya,” balas Om Nanang
dengan bijak. Aku melihat Ibu meneteskan air mata. “Kenapa Ibu, kok sedih?” tanyaku. “Ibu hanya terharu,
Nak. Ibu bahagia melihat anak Ibu, laki-laki satu-satunya, kini mau melepas
bujang. Kamu jangan seperti Ayah ya?
Cukup kami saja yang mengalami. Ayah mengambil tisu dan menghapuskan air mata
Ibu lalu memegang tangan Ibu. “Makasih
sudah memaafkan aku, Ma,” ucap ayah. Kami satu per satu keluar dari mobil. Dan
tampak sosok laki-laki kekar berkacamata dengan kumis tebal seperti Pak Raden
menyambut kami. Dia Pak Bowo. Ayah Rissa. Calon mertuaku.
“Assalamu’alaikum,
mari silahkan masuk,” ucapnya ramah. Ayah membalas salamnya dan bersalaman
dengan Pak Bowo. Om Nanang tampak kagum melihat rumah keluarga Dita. Pepohonan
berdiri tegak. Pancaran air kolam ikan
mengalir deras. Suara-suara burung bersahut-sahutan. Makanan-makanan juga tertata
rapi di atas meja ruang tamu. Kami duduk di atas kursi jati dengan guratan ukiran
indah dalam balutan warna coklat. Di depanku ada Kak Tiara, Kakaknya Rissa. Dia
berbusana gamis berwarna merah. Dia tersenyum padaku. Pak Bowo membuka
pembicaraan.
“Kami sudah mengetahui niat baik Bapak
sekeluarga ke sini,” ucapnya dengan nada serius. “Silakan dinikmati hidangan
yang ada. Hanya segini,” lanjut Pak Bowo. Om Nanang sebagai perwakilan keluarga
membalas ucapan Pak Bowo. “Iya, seperti yang Bapak sudah ketahui. Kami ke sini
berniat menyampaikan maksud menikahkan anak kami dengan anak Bapak. Hubungan
mereka sudah cukup lama. Kasian jika ujung-ujungnya tidak jadi menikah,” ucap
Om Nanang. Aku hanya diam. Menjadi pendengar yang baik. Rissa tidak terlihat.
Mungkin dia di kamar. “Saya minta maaf sebelumnya. Kami sekeluarga sudah
mengetahui masalah keluarga sampean[2],”
ucap Pak Bowo. Kaget aku mendengar
penyataan barusan. Padahal aku telah mengingatkan Dita untuk tidak bercerita. Air
muka Ayah berubah memerah. Ibu hanya diam. Pak Bowo melanjutkan pembicaraanya,
“Apakah ke depannya nanti Aldi bisa menjadi suami yang baik bagi anak kami?”
pertanyaan itu mengarah kepadaku. Semua orang mengarahkan pandangannya
kepadaku. Ayah dan Ibu memandangku lekat-lekat. Kedua bola mata mereka tampak
pasrah dengan apapun yang aku ucapkan. Aku masih diam. Hatiku berdebar. Otakku
berputar keras memikirkan jawaban apa yang tepat. “Bagaimana, Al?” tanya Ayah
padaku.
“Insya
Allah, jika Bapak mempercayai saya untuk menjaga dan tidak mengecewakan
anak Bapak, saya berjanji tidak akan pernah membuat Rissa kecewa. Saya mencintai
Rissa,” ucapku. Pak Bowo mengangguk menanggapi jawabanku. “Tapi, Nak Aldi. Anak
kami belum selesai kuliahnya. Kamu juga baru lulus kuliah. Apakah tidak
sebaiknya ditunda dulu,” balas Pak Bowo.
Ayah dengan nada diplomasi berkata, “Jika seperti
itu, apakah ada jaminan Rissa mau menunggu anak kami, Pak? Kami berencana
menyekolahkan kembali Aldi ke Jakarta. Tujuan kami menikahkan Aldi agar ia
selama di Jakarta ada yang mengurus dan memperhatikannya”. Pembicaraan semakin
serius. Keluarga Rissa memberikan sinyal menolak lamaran ini dengan alasan
anaknya masih kuliah. Rissa pun keluar. Dia hanya tertunduk. Tidak berani
menatapku.
Sambil menghela nafas, Pak Bowo berkata, “Mohon maaf
sepertinya kami tidak bisa memberikan jaminan itu. Masalah perasaan tidak ada
yang bisa menentukan. Lamaran ini tidak bisa kami terima,” tutup Pak Bowo. Aku
berusaha kuat untuk menyakinkan Pak Bowo. Ayah pun tersenyum. Ibu memegang
tanganku, memberi tanda kepadaku untuk menerima keputusan Pak Bowo. Om Nanang
pun kembali menyuarakan suara seraknya. Dia berkata, “Baiklah Pak Bowo. Pernikahan
yang ideal memang tidak boleh ada unsur paksaan. Kami memahami keputusan Bapak
beserta keluarga”. Kedua keluarga yang berbeda budaya dan kota ini saling
bersalaman. Tanda kami ingin pulang. Aku pun menghampiri Rissa. “Dek, maafkan
kakak jika ada salah. Kakak pamit,” ucapku tersenyum. Rissa menatapku lemah.
***
Pukul 20:00, kami sampai rumah.
Sepanjang jalan tidak ada dialog. Aku langsung menutup kamar. Menenangkan diri.
Perasaan malu mencabik hatiku. Aib yang seharusnya tidak diceritakan malah terkuak
ke permukaan. Kami sekeluarga sangat malu. Ayah dan Ibu menyusulku ke dalam
kamar. Mereka duduk di dekatku. “Kenapa Rissa seperti itu?” tanya Ayah dengan
nada kecewa. “Seharusnya, Rissa menutupi aib kita. Selama ini kan, kita mau mengurus dia di Samarinda.
Tidak tahu terima kasih,” lanjut Ayah. “Aldi tidak tahu, Yah,” ucapku datar.
Ayah berdiri dan keluar dari kamarku, memberi waktu untuk aku menenangkan diri.
Hanya Ibu yang masih duduk di dalam kamarku. Dipandanginya aku lekat-lekat.
Matanya memancarkan penuh kasih sayang. Naluri keibuannya mungkin berkata bahwa
anak laki-lakinya saat ini sedang terluka.
“Nak, kamu harus bangkit. Lanjutkan
kuliah kamu. Ini jalanmu. Lupakan Rissa. Menuntut ilmu butuh pengorbanan.
Ikhlaskan yang telah terjadi. Di mana kaki berpijak, di situ langit di junjung
tinggi. Tidak usah kamu pikirkan. Orang baik pasti bertemu dengan yang baik,”
hibur Ibu. Ibu keluar dari kamarku setelah meletakkan sebuah buku catatan di
atas mejaku. “Buatlah kisah dan mimpi yang baru, Nak,” ujarnya sambil tersenyum
lalu menghilang dari balik pintu kamarku.
Aku gelar sajadah hijauku. Takbir
aku kumandangkan. Mengadu pada Allah. Betapa bebanku terasa berat. Aku merasa
tidak mampu memikulnya. Tetesan airmataku berjatuhan. Suaraku menjadi parau.
Sujud panjang penutup salatku. Aku sampaikan semua keluh kesahku kepada-Nya dalam
sujudku. Langkahku mantap melanjutkan kuliah ke Jakarta dan melupakan Rissa. Bismillahirrahmanirrahim.
***
Kertas
mimpi berpelukan dengan malapetaka. Malapetaka yang belum terhapus zaman. Cinta
sejati dan tulus pun kalah. Malapetaka terus menggetanyangiku. Kecuali mimpiku.
Mimpi untuk mengubah dunia beserta isinya. Itulah kertas mimpi. Dia menemaniku
malam ini. Bernostalgia bersama bayang-bayang masa lalu. Aku ambil mutiara hikmah
pelajaran kegelapan. Aku yakin masa cerah sudah menungguku dalam uluran
tangan-Nya. Malapetaka pun pasti bisa hancur luluh lantah dalam genggamanku. Genggamanku bersama lembaran kertas mimpi. Aku
katakan pada masa lalu, “Aku telah berhijrah. Selamat datang kertas mimpi yang
baru!”.
Bingung cari Situs Poker Terpercaya ??
BalasHapusSering kalah? lebih sering deposit dari pada wd??
Solusi Terbaik Buat Member Yang Sering Lose !!
Pokers128(dot)com
Buktiin Sendiri Main Di Pokers128 !
Bisa Main Dari HP !!
Support IOS & ANDROID
7 Games Dalam 1 User_ID
Menangkan Jackpot Harian S/d Puluhan Juta
Jackpot Global Ratusan Juta
Minimal Deposit Sangat Terjangkau !!
Rp 10,000
Withdraw Diproses Super Cepat !
1menit s/d 3menit
JANGAN TUNGGU DAN JANGAN RAGU LAGI UNTUK MENJADI SEORANG PEMENANG DAN DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA DI WWW.S1288POKER.COM
Info lebih lengkap,silahkan hubungi CS 24/7 kami melalui :
PIN BBM : 7AC8D76B
WA : 08122221680
Twitter : @S1288POKER